Chairil Anwar
Lahir : 26 Juli 1922
Bendera Belanda Medan, Sumatera Utara, Hindia Belanda
Meninggal : 24 April 1949
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Pekerjaan : penyair
Kebangsaan : Indonesia
Suku bangsa : Suku Minang
Periode menulis : 1942 - 1949
Angkatan : Angkatan '45
Karya terkenal : Krawang Bekasi
Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950), kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Dalam puisi Indonesia, Chairil Anwar merupakan salah tokoh yang karya-karyanya masuk dalam aliran ekspresionalisme. Dalam aliran tidak mengungkapakan kenyataan secara objektif, namun secara subjektif. Yang di ekspresikan adalah gelora kalbunya, kehendak batinya. Puisinya benar-benar ekspresi jiwa, creatio, bukan mimiesis. Namun demikian kadang-kadang penyair realis juga bersikap ekspresionalisme, yakni jika ekspresi jiwanya itu tidak berlebih-lebihan, tetapi apa adanya. Ekspresi jiwa yang berlebihan cenderung bersifat emosional adalah cirri-ciri kaum romantisme.
Sajak ekspresionalisme tidak mengambarkan alam atau kenyataan, juga bukan penggambarann kesan terhadap alam atau kenyataan, tetapi cetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku” karya Chairil Anwar di bawah ini.
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi.
Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada pembahasan puisi “aku”.
Pembahasan
Bahasan yang akan saya uraikan tentang puisi aku ini akan lebih mengedepankan pada ekspresionalisme jiwa Khairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya. Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih “merayu”, bahkan kekasih atau istrinya. Tidak perlu juga ada “sedu sedan” yang meratapi kematian si aku sebeb tidak ada gunannya. Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya , ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia di tembak, terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri
Si aku makin akan tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta penderitaan. Si aku “ingin hidup seribu tahun lagi”, makksudnya secara kiassan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
Secara struktural dengan melihat hubungan antara unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat didalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukankan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. “Ku mau tak seorang kan merayu”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka, maka “tak perlu seduh sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu seorang yang sebebas-bebasnya (sebagai binatang jalang), tak mau di batasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku akan mengahadapi segala rintangan “tebusan peluru”, “bisa dan luka” dengan kebebasnya yang makin mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat berkarya yang bermutu sehingga pikirannya dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “aku ingin hidup seribu tahun lagi”, berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukan ketegasan seperti “ku mau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan tetap meradang, aku lebih tak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap kehebatan ini sendiri sebab selain orang lain orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.
Si aku ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya ini memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban pribadi “ku mau tak seorang ‘kan merayu , tidak juga kau”. Hal ini karena si kau adalah manusia bebas yang tak mau terikat kepada orang lain “aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang”. Dan si aku ini menentukan “nasibnya” sendiri, tak terikat oleh kekuasaan lain “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib sendiri “aku mau hidup seribu tahun lagi” adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap pandangan para penyair yang mendahuluinya.
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang…
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Dengan demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.
Sajak ini menimbulkan banyak tafsir, yang bersifat ambiguitas hal ini disebabkan ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proeses pemilihan ke poros kombinasi. “kalau samapai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan “ “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
Semua itu menurut konteksnya. Jadi ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh pengantian arti, yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, disini banyak dipergunakan metafora, baik metafora penuh mauapun implicit. Metafora penuh seperti “aku ini binatang jalang “. Maksudnya, si aku itu sepeerti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun. Metafora implicit seperti “peluru, luka dan bisa, pedih peri”. “peluru” untuk mengkiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku terhembus peluru, mendapat siksaan, mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun halangan-halangan, ia tetap akan meradang, menerjang: melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. “luka dan bisa” untuk mengkiaskan penderitaan yang didapat yang menimpa. “pedih peri” kengkiaskan kesakitan, kesedihan atau penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan).
Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
Penyimpangan arti dan penggantian arti itu menyebabkan sajak “aku” ini dapat tafsirkan bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak ini selalu “baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.
Kesimpulan
Dari ulasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap seniman atau sastrawan dalam membuat suatu karyanya dapat menggunakan berbagai macam caranya. Salah satu caranya dengan mengekspresikan karyanya sebagai gundahan, gejolak, pengalaman, bayang-bayang yang sebagai media penyaluran karyanya untuk dapat dinikmati oleh umum.
Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
Daftar pustaka
Djoko Pradopo Rakhmat, Pengkajian Puisi, Yogyakarta, Gajah Mada University Prees, 1987.
Anwar Chairil, Aku Binatang Jalang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
J. Waluyo Herman, Teori dan Apresiasi Puisi.Erlangga Jakarta, 1991