Selasa, 08 Februari 2011

ANALISIS PUISI “AKU” Karya Chairil Anwar




Chairil Anwar
Lahir                            : 26 Juli 1922
Bendera Belanda Medan, Sumatera Utara, Hindia Belanda
Meninggal                    : 24 April 1949
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Pekerjaan                      : penyair
Kebangsaan                  : Indonesia
Suku bangsa                : Suku Minang
Periode menulis            : 1942 - 1949
Angkatan                    : Angkatan '45
Karya terkenal             : Krawang Bekasi


Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950), kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).


Dalam puisi Indonesia, Chairil Anwar merupakan salah tokoh yang karya-karyanya  masuk dalam aliran ekspresionalisme.  Dalam aliran  tidak mengungkapakan  kenyataan secara objektif, namun secara subjektif. Yang di ekspresikan adalah  gelora kalbunya,  kehendak batinya. Puisinya  benar-benar ekspresi jiwa, creatio, bukan mimiesis. Namun demikian  kadang-kadang  penyair realis juga  bersikap  ekspresionalisme, yakni jika ekspresi jiwanya itu tidak berlebih-lebihan, tetapi apa adanya. Ekspresi jiwa yang berlebihan cenderung bersifat emosional adalah cirri-ciri kaum romantisme.

Sajak ekspresionalisme tidak mengambarkan  alam atau kenyataan, juga bukan penggambarann  kesan terhadap alam atau kenyataan, tetapi cetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat  mendarah daging, seperti sajak “aku” karya Chairil Anwar di bawah ini.

                  Aku

 Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ’kan merayu

Tidak juga kau

 Tak perlu  sedu sedan itu

 Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

 Biar perlu  menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

 Luka dan bisa  kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

 Dan aku akan lebih tidak perduli

 Aku ingin hidup seribu tahun lagi

 Pada puisi di atas  merupakan eskpresi jiwa penyair  yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru  atau menyatakan  kenyataan alam, tetapi mengungkapkan  sikap jiwanya yang ingin berkreasi.  Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat  oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”.  Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari  sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa  dengan luka  itu, ia  akan  lebih jalang,  lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun  lagi.
Uraian di atas merupakan  yang dikemukakan  dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada pembahasan puisi “aku”.

 Pembahasan
 Bahasan yang akan saya uraikan tentang puisi aku ini akan lebih mengedepankan pada ekspresionalisme jiwa Khairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya. Kalau si aku  meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih “merayu”, bahkan kekasih atau istrinya. Tidak perlu juga ada “sedu sedan” yang meratapi kematian  si aku sebeb tidak ada gunannya. Si aku ini adalah binatang jalang  yang lepas  bebas, yang terbuang dari kelompoknya , ia merdeka tidak mau terikat  oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia di tembak, terhadap aturan-aturan yang mengikat  tersebut.  Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri

Si aku makin akan tidak peduli pada segala aturan  dan ikatan, halangan, serta penderitaan. Si aku “ingin hidup seribu tahun lagi”, makksudnya secara kiassan, si aku menginginkan  semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.

Secara struktural dengan melihat hubungan antara unsur-unsur  dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat didalamnya, maka dapat ditafsirkan  bahwa dalam  sajak ini dikemukankan  ide kepribadian  bahwa orang itu  harus bertanggung jawab terhadap  dirinya sendiri. “Ku mau tak seorang  kan merayu”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan  akan nasibnya,  baik dalam suka maupun duka, maka “tak perlu seduh sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri.  Dikemukakan secara ekstrim  bahwa si aku itu seorang yang sebebas-bebasnya (sebagai binatang jalang), tak mau di batasi oleh aturan-aturan  yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku  akan mengahadapi  segala rintangan “tebusan peluru”, “bisa dan luka” dengan kebebasnya yang makin mutlak itu.  Makin banyak rintangan  makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat berkarya  yang bermutu sehingga  pikirannya  dan semangatnya itu dapat  hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “aku ingin hidup seribu tahun lagi”,  berdasarkan dasar konteks itu  harus ditafsirkan sebagai  kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah  semangatnya bukan fisik.

Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata  yang menunjukan  ketegasan seperti “ku mau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap meradang,  aku akan tetap meradang, aku lebih tak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pernyataan diri sebagai binatang  jalang adalah kejujuran yang besar, berani  melihat diri sendiri dari segi buruknya.  Efeknya membuat orang  tidak sombong terhadap kehebatan ini sendiri  sebab selain orang  lain  orang mempunyai kehebatan  juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.

Si aku ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya   ini memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban  pribadi “ku mau tak seorang ‘kan merayu , tidak juga kau”. Hal ini karena si kau adalah  manusia bebas   yang tak mau terikat  kepada orang lain  “aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang”. Dan si aku ini menentukan  “nasibnya” sendiri, tak terikat oleh kekuasaan lain “aku mau hidup seribu  tahun lagi”. Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib  sendiri “aku mau hidup seribu tahun lagi” adalah merupakan sikap  revolusioner terhadap paham  dan sikap pandangan  para penyair  yang mendahuluinya.

Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan  dengan  sarana retorika yang berupa  hiperbola, dikombinasi dengan ulangan,  serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan  di atas.
Hiperbola tersebut :

 Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar perlu  menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang…

Aku ingin hidup seribu tahun lagi

 Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :

Luka dan bisa  kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku ingin hidup seribu tahun lagi

 Dengan demikian jelas hiperbola tersebut  penonjolan pribadi  tampa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.

Sajak ini menimbulkan banyak tafsir, yang bersifat ambiguitas  hal ini disebabkan ketaklangsungan ucapan dengan  cara bermacam-macam.  Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan  pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proeses pemilihan  ke poros kombinasi. “kalau samapai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan “ “berarti tak ada gunannya  kesedihan itu”. Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.

Semua itu menurut konteksnya. Jadi ambiguitas arti ini memperkaya  arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan  oleh  pengantian  arti, yaitu  dalam sajak ini banyak dipergunakan  bahasa kiasan, disini banyak dipergunakan  metafora,  baik metafora penuh mauapun implicit. Metafora penuh seperti “aku ini binatang jalang “. Maksudnya, si aku itu sepeerti binatang jalang  yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun. Metafora implicit seperti “peluru, luka dan bisa, pedih peri”. “peluru” untuk mengkiaskan  serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku  terhembus  peluru, mendapat siksaan, mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun halangan-halangan, ia tetap akan  meradang, menerjang: melawan  dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. “luka dan bisa” untuk mengkiaskan penderitaan yang didapat  yang menimpa. “pedih peri” kengkiaskan kesakitan, kesedihan atau penderitaan  akibat tembusan  peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan).
Dengan kiasan-kiasan itu  gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan  sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan  kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat  yang nyala-nyala untuk merasakan  hidup  yang sebanyak-banyaknya digunakan  kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran  bahwa si aku  penuh vetalitas mau mereguk  hidup ini  selama-lamanya.

Penyimpangan arti  dan penggantian arti  itu menyebabkan  sajak “aku” ini dapat  tafsirkan  bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan kalimatnya.  Hal ini menyebabkan  sajak ini selalu “baru”  setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran  baru yang memperkaya  arti sajak ini, yang ditimbulkan  oleh kemampuan  struktur sajak ini yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.
Kesimpulan

Dari ulasan tersebut  dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap seniman atau sastrawan dalam membuat suatu karyanya dapat menggunakan berbagai macam caranya. Salah satu caranya dengan mengekspresikan karyanya sebagai gundahan, gejolak, pengalaman, bayang-bayang yang sebagai media penyaluran karyanya untuk dapat dinikmati oleh umum.

Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan  akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu  gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan  sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan  kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat  yang nyala-nyala untuk merasakan  hidup  yang sebanyak-banyaknya digunakan  kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran  bahwa si aku  penuh vetalitas mau mereguk  hidup ini  selama-lamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu  harus ditafsirkan bahwa Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah  semangatnya bukan fisik.


Daftar pustaka

Djoko Pradopo Rakhmat, Pengkajian Puisi, Yogyakarta, Gajah Mada University Prees, 1987.
Anwar Chairil, Aku Binatang Jalang,  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
J. Waluyo Herman, Teori dan Apresiasi Puisi.Erlangga Jakarta, 1991