Selasa, 05 Juli 2011

Pengaruh Kosmetika Pada Kulit


BUKAN berita baru kalau kini, banyak wanita merasa gelisah lantaran ingin berkulit lebih putih. Gempuran promosi akan produk pemutih kulit tampaknya telah sukses membentuk opini kaum hawa bahwa kulit putih lebih menarik dan lebih cantik dibanding sawo matang atau hitam. Buntutnya, segala jenis produk kosmetik baik dalam bentuk lotion, pembersih wajah, sabun, krim malam, sampai bedak, yang menjanjikan warna kulit lebih putih amat laku di pasaran. Tapi, benarkah aneka pemutih kulit ini efisien sesuai iklannya, dan aman bagi kulit?
Salah satu situs kesehatan mencatat kisah Niar (22 tahun). Demi mendapatkan kulit putih idaman, gadis ini rela membelanjakan uangnya hingga ratusan ribu rupiah, untuk paket kosmetik pemutih wajah.
Dua hari pertama pemakaian berlangsung aman. Tapi, menginjak hari ketiga, kulit wajah terkelupas, dan warnanya memerah. Niar sempat mengira bahwa perubahan ini hanyalah reaksi awal kosmetik. Tapi, lewat dua bulan, merah di wajah tak kunjung hilang. Malah, seluruh wajahnya membengkak! Setelah mendapatkan perawatan intensif dari dokter, dan (lagi-lagi) makan biaya besar, kulit wajahnya kembali normal.
Berdasarkan catatan penulis, Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) juga berkali-kali menerima pengaduan konsumen akibat penggunaan produk pemutih kulit. Ada salah satu konsumen mengalami belang-belang pada wajah, seperti panu dengan warna kemerahan dan iritasi di sana sini, gara-gara pemakaian krim pemutih. Ini mengindikasikan terjadinya kerusakan pigmen. Dalam kondisi berat, atau jika kerusakan sudah berlangsung permanen, dokter takkan bisa memulihkannya kembali.
Tampak lebih hitam
Kaum perempuan biasanya mengenal bedak, pelembab, pembersih wajah, dan sejenisnya sebagai produk kosmetik. Lalu, bagaimana dengan pemutih kulit?
Suatu produk digolongkan sebagai kosmetik bila zat-zat yang terkandung di dalamnya berasal dari bahan alami atau kimia dalam jumlah maksimum telah ditentukan, yang — menurut UU Kesehatan — memiliki fungsi untuk merawat dan memperindah penampilan, bukan untuk terapi seperti obat. Selain itu, kosmetik juga tidak boleh mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh dan hanya boleh bekerja di lapisan epidermis kulit.
Namun, berdasarkan survei label yang pernah dilakukan YPKKI terhadap 27 produk pemutih kulit dan antikerut yang beredar di pasaran, ternyata kebanyakan dari produk tersebut masuk ke dalam kategori obat.
Padahal, obat, harus digunakan berdasarkan resep dokter. Pelanggaran lain pun terkuak. Fakta menunjukkan, sebagian besar produk pemutih sudah melanggar aturan dalam UU Kesehatan, UU Konsumen, dan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Misalnya, tidak memiliki nomor registrasi (tidak terdaftar) di Departeman Kesehatan, tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa, tidak mencantumkan informasi dalam bahasa Indonesia, dan lain-lain.
Kenapa harus terdaftar? Kosmetik selalu mengandung beberapa bahan kimia, namun konsentrasi bahan ini harus memiliki batasan. Bahan seperti hidroquinon yang bekerja mengelupas kulit bagian luar dan menghambat pembentukan pigmen kulit melanin, hanya diperbolehkan sebanyak 2%. Lebih dari ketentuan ini, produk dapat menimbulkan iritasi kulit dan merusak melanin. Padahal, melanin berfungsi melindungi kulit dari reaksi radiasi sinar matahari.
Dengan kata lain, semakin banyak melanin pada kulit, maka kulit akan semakin terlindungi. Karena itulah, penggunaan kosmetik dengan kadar hidroquinon lebih dari 2% harus di bawah pengawasan dokter. Dan, produk seperti ini tergolong obat.
Bahan AHA (alpha hydroxide acid) juga dibatasi, hanya boleh 10% pada kandungan bahan kosmetik. Lebih dari itu, produk termasuk golongan obat. Sementara bahan-bahan seperti asam retinoat, rhodamin, dan merkuri (Hg) sama sekali tidak boleh terdapat dalam produk.
Asam retinoat bekerja mengelupas kulit dan dapat membuat kulit terasa seperti terbakar. Rhodamin yang berfungsi memberikan warna, juga berbahaya pada kulit karena senyawa kimia ini sesungguhnya adalah pewarna tekstil yang terkadang dipakai juga sebagai pewarna makanan. Bila dikonsumsi, ia bisa menimbulkan kanker.
Bahan merkuri yang tergolong sebagai logam berat berbahaya, juga dapat memicu timbulnya kanker kulit. Bahan kimia ini bersifat mengendap dalam kulit.
Benar, khasiat pemutih pada awalnya memang menggiurkan. Hanya dalam hitungan minggu, kulit mengalami perubahan, seperti menjadi lebih kenyal, mulus, kerutan hilang, dan tampak lebih putih. Tapi, begitu pemakaian dihentikan, kulit akan kembali ke kondisi semula. Bahkan, kadang-kadang kondisinya malah lebih parah. Kulit jadi tampak lebih hitam, berwarna merah, atau muncul flek-flek.
Kenapa harus putih?
Dalam mengawasi produk-produk kosmetik yang menjanjikan kulit lebih putih, sebaiknya memang ada peran aktif dari masyarakat. Diharapkan, kaum wanita lebih selektif, kritis, dan teliti dalam memilih produk kosmetik, termasuk bahan pemutih. Pelajari pula efek samping produk. Jika pada pemakaian pertama kulit wajah langsung kemerahan, terjadi iritasi disertai gatal-gatal, sebaiknya pemakaian langsung dihentikan, meskipun produk itu berharga cukup mahal.
Selain itu, untuk mengeliminasi efek samping dan bahaya bahan pemutih, sebaiknya pilihlah produk terdaftar. Artinya, produk tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan terbukti aman digunakan karena sudah melalui serangkaian tes laboratorium.
Sebagai informasi, jika produk tersebut sudah terdaftar di Badan POM, maka kodenya adalah “CD” untuk kosmetik dalam negeri dan “CL” untuk kosmetik luar.
Jangan mudah percaya pada klaim produk yang berlebihan dan janji iklan yang berefek instan. Misalnya, promosi menjanjikan sabun pembersih muka yang bisa memutihkan wajah dalam tiga minggu. Jelas, ini tak bisa dipercaya, karena ketahanan sabun atau pembersih muka paling lama hanya dua menit, padahal agar efektif, produk sebaiknya dipakai semalaman.
Perhatikan juga tanggal kedaluwarsa produk pemutih atau bahan kosmetik lainnya, karena setiap benda yang dijual selalu memiliki masa edar, apalagi obat yang ada unsur kimianya. Dalam hal ini, konsumen perlu waspada karena produk kedaluwarsa mudah terkontaminasi jamur atau bakteri, sehingga bisa berbalik jadi racun.
Karena setiap orang memiliki sensitivitas kulit yang berbeda, maka jika terjadi efek samping atau hal-hal di luar dugaan, segeralah berkonsultasi ke dokter.
Akhirnya, sebelum mati-matian memutihkan kulit, sebaiknya perempuan juga berpikir lebih jauh, apakah kita memang benar-benar harus berkulit putih? Sesungguhnya, pemakaian kosmetik perawatan yang “hanya” berefek menyegarkan, melembabkan dan menghaluskan kulit saja sudah cukup. Karena, pemutihan kulit berarti “memaksa” terjadinya perubahan struktur melanin pada kulit, dan menyebabkannya lebih rentan terhadap serangan sinar matahari dibanding warna sawo matang. Risikonya lainnya, potensi terkena kanker kulit akan lebih besar.***
Beberapa waktu lalu, kantor berita Reuters dan AFP memberitakan, banyak perempuan di Nairobi, Afrika, menderita kerusakan kulit akibat pemakaian krem pemutih. Ternyata, mereka memakai krem pemutih yang mengandung hidrokuinon dan merkuri dalam konsentrasi tinggi.
Akibatnya, bukan kulit warna putih yang mereka dapatkan, tetapi kulit yang rusak terbakar. Kulit mereka menjadi lebih hitam dari sebelumnya.
Belajar dari pengalaman mereka, sebelum menggunakan krim pemutih kulit, sebaiknya konsumen mengetahui inti perawatan kulit dan meneliti kandungan krim yang akan dipakai.
Pada dasarnya tujuan perawatan kulit adalah mendapatkan kulit yang segar, sehat, dan halus. Kulit yang demikian membuat penampilan seseorang tampak bersih, tidak kusam. Perawatan membuat penampilan kulit lebih sehat, bukan menjadikan kulit berwarna putih.
Krim pemutih yang dikemas produsen dalam sabun, losion tubuh, pelembab, dan sebagainya hanya berfungsi merawat dan memperindah penampilan. Krim pemutih yang dijual bebas tak bisa berfungsi sebagai terapi seperti obat karena obat hanya bisa digunakan berdasarkan resep dokter.
Hidrokuinon dan merkuri
Saat ini hidrokuinon masih digunakan sebagian produsen pemutih karena hidrokuinon mampu mengelupas kulit bagian luar dan menghambat pembentukan melanin yang membuat kulit tampak hitam. Namun, menurut ahli kosmetik di Rumah Sakit Kramat 128, Jakarta Pusat, dr Lili Legiawati SpKK, penggunaan hidrokuinon dalam kosmetika bebas tak boleh lebih dari 2 persen.
“Hidrokuinon tidak boleh digunakan dalam waktu yang lama, dan jika pemakaiannya lebih dari 2 persen, harus di bawah kontrol dokter. Penggunaan hidrokuinon yang berlebihan bisa menyebabkan oochronosis terhadap orang berkulit gelap,” kata Lili.
Oochronosis adalah kulit berbintil seperti pasir dan berwarna coklat kebiruan. Penderita oochronosis akan merasa kulit seperti terbakar dan gatal.
Sementara merkuri sudah dilarang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk digunakan dalam kosmetika meski hanya dioleskan.
“Walau hanya dioleskan dan tidak diminum, merkuri bisa meresap ke dalam pembuluh darah. Bila terakumulasi dalam ginjal, dapat mengakibatkan kerusakan fungsi ginjal,” tutur Lili yang juga pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Namun, yang menjadi masalah, hanya sebagian pemutih yang mencantumkan bahan dasar dan komposisi dalam produknya. Mungkin mereka takut jika mereka mencantumkan bahan baku dan komposisi tersebut, konsumen tidak akan memakai produknya.
“Sering kali pasien yang datang ke dokter karena kondisinya sudah parah. Dokter kesulitan untuk mencari tahu penyebabnya karena produk yang mereka pakai tidak mencantumkan bahan baku dan komposisi,” ujar Lili.